Surabaya, 11 Mei 2025 – Dalam upaya meningkatkan pemahaman masyarakat tentang Tuberkulosis (TBC), telah dilaksanakan kegiatan Penyuluhan TBC yang menyasar warga Kelurahan Wiyung, khususnya ibu-ibu yang tergabung dalam kegiatan PKK. Kegiatan ini berlangsung pada hari Minggu, 11 Mei 2025, dengan suasana yang hangat, edukatif, dan partisipatif. Penyuluhan ini bertujuan untuk mengenalkan gejala, cara penularan, pencegahan, serta pentingnya pengobatan TBC hingga tuntas. Mengingat masih banyak masyarakat yang awam mengenai penyakit ini, edukasi langsung di tingkat kelurahan menjadi strategi penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan TBC. Sebagian besar peserta adalah ibu rumah tangga yang belum memiliki pengetahuan mendalam tentang TBC. Namun, antusiasme mereka terlihat tinggi sepanjang acara. Beberapa ibu aktif bertanya seputar gejala TBC, seperti batuk yang tak kunjung sembuh, demam ringan, hingga berat badan menurun. Tak sedikit pula yang ingin tahu lebih dalam tentang bagaimana TBC dapat menular, terutama di lingkungan keluarga dan rumah yang padat penghuni.

“Kalau tinggal serumah dengan penderita TBC, apa kita pasti tertular?” tanya salah satu peserta, mencerminkan kepedulian dan keingintahuan yang besar terhadap perlindungan keluarga. Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, kader kesehatan menjelaskan pentingnya deteksi dini, etika batuk yang benar, penggunaan masker, serta menjaga sirkulasi udara dalam rumah sebagai bentuk pencegahan. Simulasi sederhana tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) juga diberikan agar peserta dapat langsung mempraktikkannya di rumah.

Selain edukasi, dilakukan pula skrining dan pendataan terhadap pasien TBC yang pernah menjalani pengobatan, serta anggota keluarganya yang tinggal serumah. Tujuannya adalah untuk mendeteksi kemungkinan kasus baru sedini mungkin dan mendorong pemeriksaan lanjutan secara gratis melalui fasilitas rontgen yang disediakan oleh Puskesmas. Namun, di lapangan masih ditemui tantangan. Beberapa keluarga pasien menolak untuk dilakukan pemeriksaan rontgen, meskipun telah dijelaskan manfaatnya dan tidak dikenakan biaya. Penolakan ini muncul karena adanya rasa takut mengetahui kondisi kesehatan diri sendiri, dan kekhawatiran akan dikucilkan atau “kepikiran” jika hasilnya positif. “Takut kalau ternyata ada penyakit, nanti malah stres sendiri,” ujar salah satu keluarga pasien yang menolak rontgen. Fenomena ini menunjukkan bahwa stigma dan ketakutan masih menjadi hambatan utama dalam upaya eliminasi TBC, meskipun layanan sudah tersedia dan bersifat gratis.

Melalui kegiatan ini, kader kesehatan berharap tidak hanya meningkatkan pengetahuan masyarakat, tetapi juga mengikis stigma yang masih melekat pada TBC. Diperlukan edukasi yang berkelanjutan dan pendekatan yang lebih empatik agar masyarakat merasa aman dan yakin untuk memeriksakan diri.

Dengan keterlibatan aktif masyarakat dan kolaborasi lintas sektor, eliminasi TBC bukan hanya target nasional, tetapi tanggung jawab bersama yang bisa dimulai dari tingkat RT dan keluarga.